I. PENDAHULUAN
Dalam
konteks Indonesia, kebudayaan Jawa merupakan salah satu kebudayaan lokal yang
berpengaruh penting karena dimiliki oleh kelompok etnik terbesar di Indonesia.
Nilai-nilai islam mamiliki arti penting bagi kebudayaan Jawa karena mayoritas
masyarakat Jawa memeluk agama Islam. Dengan demikian, hubungan nilai-nilai
Islam dengan kebudayaan Jawa menjadi menarik karena Islam dan kebudayaan Jawa
yang cukup dominan pada bangsa Indonesia.
Sementara
itu, usaha-usaha pendidikan agama di masyarakat yang dikenal dengan pendidikan
non-formal ternyata mampu menyediakan kondisi yang sangat baik dalam menunjang
keberhasilan pendidikan islam dan memberi motivasi yang kuat bagi umat Islam
untuk menyelenggarakan pendidikan agama yang lebih baik dan lebih sempurna.
Selain itu, persoalan ekonomi sebagai bagian dari bidang realitas kehidupan
masyarakat Jawa, cukup menarik untuk diperbincangkan sehubungan dengan usaha
sungguh-sungguh bangsa Indonesia untuk meningkatkan efisiensi nasional dalam
rangka memperbaiki produk-produk Indonesia di pasar global yang semakin
terliberalisasikan.
Oleh
karena itu, kami akan sedikit membahas tentang sekolah agama Islam seperti
pesantren dan apa prinsip ekonomi masyarakat Jawa serta bagaimana interrelasi
masyarakat Jawa Islam dalam aspek pendidikan dan ekonomi.
II. RUMUSAN MASALAH
A. Apa
Pengertian dan Bagaiman Pendidikan di Pesantren?
B. Apa
saja Karakteristik yang dimiliki Pesantren?
C. Apakah
Ekonomi itu?
D. Bagaimana
Tinjauan dan Prinsip Ekonomi Masyarakat Jawa?
E. Bagaimana
Interrelasi Nilai Islam dan Jawa dalam Aspek Ekonomi?
III. PEMBAHASAN
A. Pengertian dan
Pendidikan di Pesantren
Pesantren
menurut Prof. John berasal dari bahasa Tamil, Santri yang berarti guru mengaji. CC.Berg juga berpendapat bahwa
istilah santri berasal dari kata shastri (bahasa India) yang berarti orang yang
tahu buku-buku suci agama Hindu. Kata shastri
berasal dari shastra yang berarti
pula buku-buku suci, buku agama, atau buku tentang ilmu pengetahuan. Namun,
secara konsep, pesantren dimaknai sebagai asrama dan tempat murid-murid
mengaji, khususnya dengan tujuan meningkatkan kekuatan keagamaan.
Sebagai
suatu lembaga pendidikan jelas sekali
bahwa pesantren adalah lembaga pendidikan Islam yang berada diluar sistem
persekolahan. Pesantren tidak terikat dengan sistem kurikulum, perjenjangan,
kelas-kelas, atau jadwal pembelajaran terencana secara ketat. Pesantren
merupakan sistem pendidikan diluar sekolah yang berkembang di masyarakat. Oleh
sebab itu, dalam banyak hal, lembaga penddikan ini bersifat merakyat.[1]
Dalam
arti luas, tradisi pendidikan islam mucul seirama dengan proses islamisasi.
Bahkan, pendidikan mempunyai peran penting dalam transmisi pengetahuan agama
kepada masyarakat luas. Sebelum abad ke-20 Indonesia hanya mengenal satu jenis
pendidikan yang disebut dengan ‘Lembaga Pengajaran Asli’ yaitu sekolah-sekolah
agama Islam dengan berbagai bentuknya (seperti masjid, langgar, dan pesantren).
Yang mana, sistem ini menitikberatkan pada pendidikan membaca al-Qur’an,
pelaksanaan shalat, dan pelajaran tentang kewajiban-kewajiban pokok agama.
Di
Jawa, secara tradisional sekolah-sekolah al-Qur’an tidak memiliki sebutan
khusus. Oleh orang Jawa, tempat pendidikan al-Qur’an disebut Nggon Ngaji, yang berarti tempat murid
belajar membaca al-Qur’an tahap permulaan. Sedangkan kegiatannya disebut dengan
Ngaji Qur’an. Dengan demikian,
masyarakat muslim di Indonesia secara tradisional pendidikan telah dijalankan
pada dua jenjang, yaitu pengajian al-Qur’an sebagai pendidikan dasar dan pondok
pesantren sebagai pendidikan lanjutan.[2]
B. Karakteristik
Pesantren
Pesantren
merupakan salah satu lembaga pendidikan Islam yang unik dan memiliki
karakteristik yang membedakan dengan lembaga pendidikan lain. Seperti :
1. Pondok
Pondok berasal
dari kata Arab Funduq yang berarti
hotel atau asrama. Pondok berfungsi sebagai asrama bagi santri, pondok
merupakan ciri khas dari pesantren yang membedakan dengan sistem pendidikan
tradisional di masjid-masjid yang berkembang di wilayah Islam negara lain.
2. Masjid
Suatu pesantren
mutlak mesti memiliki masjid, sebab disitulah pada mulanya dilaksanakan proses
belajar mengajar, komunikasi kyai dan santri. Masjid merupakan elemen yang
tidak dapat dipisahkan dengan pesantren dan dianggap sebagai tempat yang paling
tepat untuk mendidik para santri.
3. Santri
Santri adalah
seseorang yang alim atau berilmu yang bisa dikatakan sebagai murid yang sedang
menimba ilmu di suatu pesantren. Ada santri mukim dan juga santri kalong.
4. Kiai
Kiai merupakan
seorang ahli agama Islam yang memiliki atau menjadi pimpinan pesantren dan
mengajar kitab-kitab Islam kepada para santrinya.
5. Metode
Pengajaran Kitab-kitab
Pesantren juga
memiliki ciri khas yang unik lainnya, yaitu metode pengajaran kitab dengan cara
bandongan, sorogan dan hafalan.
6. Keluarga
Secara normatif,
keluarga terasuk dalam lembaga pendidikan luar sekolah. Islam memandang keluarga
sebagai bentuk lembaga pendidikan karena didalam keluarga berlangsung pula
proses kependidikan.
7. Taman
Pendidikan al-Qur’an
TPQ adalah
lembaga pendidikan Islam tingkat dasar diluar sekolah. Pesertanya secara umum
ditujukan kepada anak usia Taman Kanak-kanak.
8. Majelis
Ta’lim
Majelis Ta’lim
adalah salah satu sarana pendidikan dalam Islam. Majelis Ta’lim lebih kita
kenal dengan istilah pengajian-pengajian yang umumnya berisi ceramah atau
khotbah keagamaan Islam.[3]
C. Pengertian
Ekonomi
Istilah
kata Ekonomi berasal dari kata aikos
dan nomos, yang artinya aikos : rumah tangga dan nomos : ilmu. Dari gabungan kata
tersebut, terbentuklah pengertian ekonomi yang menunjukkan sebuah kondisi yang
merujuk pada pengertian tentang aktivitas manusia, khususnya pada usaha untuk
bisa mengolah sumber daya yang ada di
lingkungan sekitarnya sebagai alat pemenuhan kebutuhan.
Dalam
kamus ilmiah populer, Ekonomi diartikan segala usaha manusia dalam memenuhi
kebutuhannya guna mencapai kemakmuran hidupnya, pengaturan rmah tangga.[4]
Kata ekonomi dapat pula diartikan sebagai kegiatan manusia atau masyarakat
untuk mempergunakan unsur-unsur produksi
dengan sebaik-baiknya untuk memenuhi berbagai kebutuhan.
Secara
umum, dapat didefinisikan bahwa ekonomi adalah sebuah bidang kajian tentang
pengurusan sumber daya material individu, masyarakat, dan negara untuk
meningkatkan kesejahteraan hidup manusia. Kerena ekonomi merupakan ilmu tentang
perilaku dan tindakan manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya yang bervariasi
dan berkembang dengan sumber daya yang ada melalui pilihan-pilihan kegiatan
produksi, konsumsi, dan distribusi.
Ekonomi
juga merupakan salah satu segi kebudayaan yang erat hubungannya dengan
segi-segi lain dari kebudayaan. Seumpama kita membicarakan ekonomi suatu
masyarakat, maka ada tiga masalah pokok yang pertama harus diketahui yakni :
produksi, konsumsi, dan distribusi.[5]
D. Tinjauan dan
Prinsip Ekonomi Masyarakat Jawa
Secara
sederhana, ekonomi diartikan sebagai kegiatan manusia atau masyarakat untuk
mempergunakan unsur-unsur prodeksi dengan sebaik-baiknya, untuk memenuhi
berbagai kebutuhan. Oleh karena itu, proses ekonomi meliputi proses produksi
barang dan jasa, penukarannya dan pembagiannya antara golongan-golongan
masyarakat dalam kehidupan sehari-hari. Dalam kegiatan ekonomi secara normatif
harus diberlakukan kapan saja dan dimanapun juga supaya semua karunia Tuhan
dapat disyukuri dan dimanfaatkan sebaik mungkin.
Prinsip
ekonomi pada dasarnya adalah prinsip rasional yang diterapkan dalam aspek
kehidupan ekonomi, dan terjelma dalam istilah efektif dan efisien. Efektif
dalam arti, input atau potensi apa saja yang ada dan dimiliki hendaknya
dipergunakan utnuk mencapai output berupa hasil, pendapatan, keuntungan, faedah
dan sebagainya yang maksimal. Efisien berarti untuk mencapai output tersebut
hendaknya digunakan faktor produksi, bahan, waktu, pengorbanan, atau input yang
minimal. Dengan kata lain, efektif berarti maksimalisasi output, sedangkan
efisien adalah minimalisasi input.
Dalam
masyarakat Jawa, prinsip ekonomi dapat dijimpai istilah-istilah atau
konsep-konsep seperti cucuk, pakoleh,
ngirit, guthuk, lumayan, dan lain-lain. Sementara itu, istilah Jawa yang
memiliki arti berlawanan dari istilah diatas antara lain boros, tanpa pethung, awur-awuran, ya ben, dipangan Bethara Kala,
dan lain-lain. Disamping itu, dengan mendalami secara sungguh-sungguh
kebudayaan Jawa telah tinggi sifat-sifat rasional atau prinsip ekonomi dapat
ditemukan dalam kata kunci yang digunakam masyarakat Jawa. Diantaranya ora ilok, kuwalat, buak dasar, tuna sanak,
ora lumrah, ora umum, lali jawane dan sebagainya.[6]
Ora
ilok,
istilah yang berarti bertentangan dengan prinsip rasional, akal sehat, tidak
logis. Misalnya, meludahi sumur dan menduduki bantal, merupakan tindakan yang bertentangan dengan prinsip rasional.
Hal ini karena air sumur desediakan untuk minum orang banyak, sedangkan bantal
adalah landasan kepala sewaktu tidur. Kuwalat,
adalah kata kunci yang berarti bertentangan dengan moral atau nilai moral yang
dijunjung tinggi dalam masyarakat. Tindakan berani terhadap orang tua,
melangkahi atau melompati kuburan orang tua, dan tidak merawat benda budaya
(seperti keris, wayang, dan sebagainya) akan dikatakan kuwalat oleh pendukung kebudayaan Jawa.
Masyarakat
Jawa lebih suka memecahkan masalah kehidupannya dengan sikap mawas diri atau
tepa selira agar dapat menghindari timbulnya konflik dengan orang lain. Dengan
cara menggalih, terasakan bahwa masyarakat Jawa telah mempraktekkan prinsip
ekonomi.[7]
Disamping
itu, setelah Islam masuk di Jawa, para penduduk Jawa dikenalkan dengan sistem
baru dalam bercocok tanam, seperti sistem musaqoh, muzaro’ah, dan mukhobaroh.
Yang ketiganya membahas tentang hak dan kewajiban pemilik tanah maupun
penggarap. Konsep ini belum pernah diajarkan pada orang Jawa sebelumnya.
E. Interrelasi
Niali Islam dan Jawa dalam Aspek Ekonomi
Dalam
Islam, sistem ekonomi yang diterapkan oleh Rasulullah SAW. berakar dari
prinsip-prinsip Qur’ani. Al-Qur’an yang merupakan sumber utama ajaran Islam,
telah menetapkan berbagai aturan sebagai hidayah (petunjuk) bagi umat manusia
dalam melakukan aktivitas sehari-hari dalam aspek kehidupannya, termasuk bidang
ekonomi. Prinsip Islam yang paling mendasar adalah kekuasaan tertinggi hanya
kepada Allah SWT. Semata dan manusia diciptakan sebagai khalifah-Nya dimuka
bumi. Sebagai Khalifatullah fi al-ardh,
manusia telah diciptakan dalam bentuk yang paling baik dari seluruh ciptaan
lainnya, seperti matahari, bulan dan langit telah ditakdirkan untuk
dimanfaatkan oleh manusia. Hal ini merupakan suatu anugerah, rahmat, serta
kasih sayang Allah SWT yang sangat besar terhadap umat manusia.[8]
Kenyataan
bahwa kegiatan-kegiatan ekonomi tidak terlepas dari kepercayaan-kepercayaan
mitologis, sehingga pemahaman hal-hal demikian tidak bisa terlepas atau
dilepaskan dari kepercayaan keagamaan. Keterkaitan antara kegiatan ekonomi
dengan nilai-nilai kepercayaan mitologis, dan bagaimana kepercayaan itu
diwujudkan secara operasional kedalam kegiatan ekonomi yang dimaksud, dalam
kehidupan santri antara lain adanya konsep tawasul
kepada Syekh Abdul Qadir dan lewat konsep itu pula ritual-ritual khusus
dilakukan seperti yang selama ini dikenal dengan Manaqiban.
Sedangkan
dikalangan masyarakat Jawa dapat dikategorikan kedalam tiga sub-kategori, yaitu
:
1. Mengikuti
pola yang dilakukan kaum santri yaitu dengan melakukan ritual Manaqiban.
2. Melakukan
ritual khas Jawa dengan cara melakukan ritual Rasulan.
3. Menggabungkan
keduanya, yaitu selain melakukan Manaqiban,
Rasulan, juga secara khusus mengadakan ritual khusus di makam atau
petilasan danyang desa kepada
leluhurnya.[9]
Dalam
masyarakat Jawa terdapat beberapa tradisi untuk mencapai kebutuhan yang mungkin
tidak dimiliki oleh daerah-daerah lain. Salah satu contoh yang dilakukan
masyarakat Jawa untuk mencapai kebutuhannya adalah dengan melakukan kegiatan
yang sering disebut pasugihan. Tetapi kegiatan ini tidak mutlak dilakukan oleh
semua masyarakat Jawa.
Biasanya
tempat-tempat yang sering digunakan untuk mencari pasugihan yaitu tempat yang dikeramatkan dan dianggap bermanfaat
untuk mencari ketenangan dalam rangka untuk mencapai inspirasi, intuisi, dan
aspirasi untuk memulai suatu pekerjaan. Tempat-tempat yang dimaksud seperti
Gunung Srandil di kabupaten Cilacap., Gunung Kemukus di Sragen, Gunung Kawi di
Malang, Gunung atau makam sewu, Parang Tritis di Bantul, dan sebagainya.[10]
Sebenarnya
pasugihan dilarang didalam agama
Islam karena hal ini sama saja dengan menyekutukan Allah SWT, karena dalam
pasugihan seseorang akan mendapat harta tanpa bekerja keras sebagai mana mestinya.
Didalam agama Islam juga mengajarkan beberapa doa-doa atau amalan-amalan yang
bisa digunakan untuk memperlancar rizki, misalnya berdoa dengan wasilah,
melakukan sholat Dhuha, tahajud dan lain-lain. Dengan hal ini diharapkan umat
manusia tidak terjerumus dalam lembah kesesatan.
Selain
pasugihan, masyarakat Jawa juga melakukan tradisi lain seperti selametan.
Selametan merupakan suatu upacara yang biasanya diadakan dirumah suatu keluarga
dan dihadiri oleh anggota keluarga, tetangga dekat, kenalan-kenalan yang
tinggal tidak jauh dan termasuk juga orang-orang yang mempunyai hubungan
dagang.[11]
Nilai-nilai
Islam dan Jawa kiranya bertemu dalam media selametan
yang memuat nilai-nilai tertentu. Kenyataan bahwa upacara selametan telah disentuh dengan ajaran Islam, seperti masuknya
unsur dzikir, penentuan waktu dan maksud penyelenggaraan yang dikaitkan dengan
hari-hari besar Islam. Dalam hal ini mengakibatkan efek selametan terkadang
mampu menimbulkan getaran emosi keagamaan. Oleh karena itu, simbol-simbol yang termuat
dalam selametan mengandung prinsip ekonomi dan nilai-nilai Islam pun
terakomodasi didalamnya.
IV. KESIMPULAN
Pesantren adalah
lembaga pendidikan Islam yang berada diluar sistem persekolahan. Tidak terikat dengan kurikulum, perjenjangan,
kelas-kelas atau jadwal pembelajaran. Sebelum abad ke-20 Indonesia hanya
mengenal satu jenis pendidikan yaitu Lembaga Pengajaran Asli. Yaitu sekolah
agama Islam dengan berbagai bentuknya seperti masjid, langgar dan pesantren.
Adapun karakteristik pesantren adalah: pondok, masjid, santri, kyai, metode
pengajaran kitab, dan sebagainya.
Ekonomi adalah
sebuah bidang kajian tentang pengurusan sumberdaya material individu,
masyarakat, dan negara untuk meningkatkan kesejahteraan hidup manusia. Ekonomi
juga merupakan salah satu segi kebudayaan yang erat hubungannya dengan
segi-segi lain dari kebudayaan. Seumpama kita membicarakan ekonomi suatu
masyarakat, maka terdapat tiga masalah yang harus diketahui yakni : produksi,
konsumsi, dan distribusi.
Dalam masyarakat
Jawa, prinsip ekonomi dapat dijumpai istilah-istilah atau konsep-konsep seperti
cucuk, pakoleh, ngirit, dan
lain-lain. Sementara itu, istilah Jawa yang memiliki arti berlawanan dari
istilah diatas antara lain boros, tanpa
pethung, awur-awuran, dan lain-lain. Disamping itu, dengan mendalami secara
sungguh-sungguh kebudayaan Jawa telah tinggi sifat-sifat rasional atau prinsip
ekonomi dapat ditemukan dalam kata kunci yang digunakam masyarakat Jawa.
Diantaranya ora ilok, kuwalat, buak
dasar, tuna sanak, ora lumrah, ora umum, lali jawane dan sebagainya.
Dalam aspek
ekonomim interrelasi nilai Islam dan Jawa dapat dilihat dari tradisi seperti
pesugihan dan selametan. Pesugihan merupakan kegiatan untuk mencapai kebutuhan
yang biasanya dilakukan ditempat yang dikeramatkan dengan tujuan untuk mencari
ketenangan agar mendapat inspirasi. Sedangkan selametan merupakan upacara yang
telah disentuih dengan ajaran Islam, seperti masuknya unsur dzikir, penentuan
waktu dan maksud penyelenggaraan yang dikaitkan dengan hari besar Islam yang
terkadang mampu menimbulkan getaran emosi keagamaan.
V. PENUTUP
Demikian makalah
ini kami buat. Kami sadar dalam pembuatan makalah ini masih banyak kekurangan
dan jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun
tetap kami harapkan sebagai acuan dalam pembuatan makalah selanjutnya. Semoga
dapat menambah ilmu bagi kita semua.
DAFTAR PUSTAKA
Huda, Nur, Islam Nusantara, Yogyakarta: AR-RUZZ MEDIA, 2007
Jamil, Abdul, dkk, Islam dan Kebudayaan Jawa, Yogyakarta: GAMA MEDIA, 2000
Karim, Adiwarman Azwar, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, Jakarta
: PT. Raja Grafindo Persada, 2004
Mahjunir, Pokok-pokok Antropologi dan Kebudayaan, Jakarta : Bhratara, 1967
Mudjahirin Thohir, Orang Islam Jawa Pesisiran, Semarang : Fasindo Press, 2006
Muliawan, Jasa Ungguh, Pendidikan Islam Integratif, Yogyakarta:
Pustaka Belajar, 2005
Rajasa, Sutan, Kamus Ilmiah Populer, Surabaya : Karya Utama, 2002
[1] Jasa Ungguh Muliawan, Pendidikan Islam Integratif,
Yogyakarta: Pustaka Belajar, 2005, hlm. 155-156.
[2] Nur Huda, Islam Nusantara, Yogyakarta: AR-RUZZ MEDIA, 2007, hlm. 369
[3] Jasa Ungguh Muliawan, Pendidikan Islam Integratif, Yogykarta :
Pustaka Belajar, 2005, hlm. 157-161.
[4] Sutan Rajasa, Kamus
Ilmiah Populer, Surabaya: Karya
Utama, 2002, hlm. 135.
[5] Mahjunir, Pokok-pokok Antropologi dan Kebudayaan, Jakarta : Bhratara. 1967, hlm. 103.
[6] Abdul Jamil, dkk, Islam
dan Kebudayaan Jawa, Yogyakarta: GAMA MEDIA, 2000, hlm. 251.
[7] Abdul Jamil, dkk, Islam
dan Kebudayaan Jawa, Yogyakarta : GAMA MEDIA, 2000, hlm. 254.
[8] Adiwarman Azwar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada, 2004, hlm. 29-30.
[9] Mudjahirin Thohir, Orang Islam Jawa Pesisiran, Semarang:
Fasindo Press, 2006, hlm. 249.
[10] Abdul Jamil, dkk, Islam
dan Kebudayaan Jawa, Yogyakarta : GAMA MEDIA, 2000, hlm. 256.
[11] Abdul Jamil, dkk, Islam
dan Kebudayaan Jawa, Yogyakarta : GAMA MEDIA, 2000, hlm. 260.